Aku berjalan menikmati aroma tanah yang sedikit basah. Bau khasnya seperti bau yang sering kucium
saat masih tinggal di desa bersama Oma dan Opaku.
Kopi yang sudah habis kulemparkan ke tempat sampah di pinggir jalan. Aku melewatkan moment indah ini dengan memotret-motret pemandangan sekitar. Hingga kakiku
menuntunku masuk menuju sebuah danau. Kuangkat nikkon-ku dan mengarahkannya
pada sesosok laki-laki yang sedang duduk sendiri di pinggir danau itu.
Masih terus mengambil potret-an sunset yang berwarna orange keemasan, aku mendekati sosok itu dengan langkah perlahan. Semakin dekat hingga aku berada di balik
pohon disamping sosok itu. Aku masih terus memotretnya hingga sosok itu
mengetahui keberadaanku.
‘’Bolehkah aku punya privasi?’’ dia berkata keras
tanpa menoleh ke arahku.
‘’Oh sorry, bukan mak..sud..ku’’jawabku terputus sembari keluar
dari balik pohon dan mendekatinya.
“Apa yang kamu lakukan ?” tanyanya dengan tatapan tajam.
‘’Sorry, aku tidak bermaksud untuk..”jawabku sebelum dia
menyela lagi.
“Oke, kamu sudah mengatakannya.’’ Dia memalingkan wajahnya
ke arahku.
‘’Bolehkah aku duduk ?’’ tanyaku.
‘’....." dia hanya diam saja.
Cukup tahu untuk sebuah jawaban mempersilahkan duduk. Dia
mengalihkan pandangan kosong ke arah danau. Kuangkat nikkon-ku dan mengambil
beberapa gambar danau yang tenang. Suasana kini hening, hanya suara para burung yang terbang cepat kembali ke sarangnya sebelum malam tiba.
‘’So, berusaha melepaskan semua masalah seorang diri di
tepi danau?’’ tanyaku memecah keheningan.
‘’Kamu tau apa yang aku pikirkan?’’ dia menatapku.
“Cukup bisa ditebak.’’ Jawabku tenang.
“Bukan urusanmu....” Jawabnya singkat.
Suasana kembali hening. Kini lebih hening . Aku berdiri..
“ Well, tak akan berhasil jika kamu hanya menatapnya saja. Come on.” Kataku padanya sambil mengulurkan tanganku. Matanya yang
biru sejernih laut mengisyaratkan keraguan. Tapi pada akhirnya dia menjawab
uluran tanganku dan berdiri. Aku mengambil beberapa batu kecil.
‘’Ikuti caraku.” Aku mendekati bibir danau dan berdiri
tegak. Menutup mataku, menarik napas sedalam-dalamnya lalu mengeluarkanya sambil
membuka mataku kembali. Kuambil sebuah batu dan mengangkatnya ke atas.
Mencondongkan lenganku sedikit kebelakang dan dengan sekuat tenaga aku
melemparkan batu itu jauh ke tengah danau. Dia menatapku bingung.
“Sekarang giliranmu. Ikuti caraku seperti tadi.’’
Kataku.
‘’Tutuplah matamu, ambil napas yang dalam seakan-akan itu
adalah semua masalah yang membebanimu.” Dia menutup matanya dan menarik napas dalam.
‘’Sekarang keluarkanlah perlahan seakan-akan semua
masalah yang kau hirup tadi ikut keluar dan bebas bersama napasmu. Lalu bukalah
matamu,’’dia menuruti perkataanku.
‘’Lemparlah.” aku memberikan sebuah batu kecil. Dia
mengambilnya dan melempar dengan cukup jauh melampaui tempat jatuhnya batu yang
aku lemparkan tadi.
‘’Sudah lebih baik?’’ tanyaku tersenyum.
Dia hanya menatapku dan tersenyum kecil.
‘’Kamu tau bagaimana cara membuat orang lain lebih baik.”
Masih dengan senyum kecilnya yang kemudian melebar menjadi tawa, dia mengambil sebuah batu dan mempraktekannya lagi.
Hari sudah semakin gelap. Tiada burung lagi yang masih terbang kembali ke sarangnya. Semua burung telah menempatkan diri di sarang mereka
masing-masing.
“Waktunya pulang...” kataku kepadanya.
‘’Terimakasih” jawabnya.
“Senang bisa membantu” kataku tersenyum. Dia membalas dengan senyuman kecil.
Beberapa langkah menjauhi danau dia menghadap ke arah
kepergianku dan berteriak ,
‘’Hei...Siapa namamu?’’ dia berteriak penasaran.
Aku hanya menoleh kebelakang dan tersenyum.
Aku berbalik lagi dan terus berjalan keluar danau di
keheningan senja yang semakin gelap. Dia masih tetap melihatku hingga aku
menghilang ke arah kerumunan jalan besar.